BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahu merupakan salah
satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar kacang kedelai yang sangat
digemari oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar produk tahu di Indonesia
dihasilkan oleh industri skala kecil yang kebanyakan terdapat di Pulau Jawa.
Industri tersebut berkembang pesat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.
Namun, di sisi lain industri ini menghasilakan limbah cair yang berpotensi
mencemari lingkungan. Industri tahu membutuhkan air untuk pemrosesannya, yaitu
untuk prosees sortasi, peredaman, pengupasan kulit, pencucian, penggilingan,
perebusan dan penyaringan.
Kegiatan industri
tahu di Indonesia didominasi oleh usaha-usaha skala kecil dengan modal yang
terbatas. Dari segi lokasi, usaha ini juga sangat tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sumber daya manusia yang terlibat pada umumnya bertaraf pendidikan
yang relatif rendah, serta belum banyak yang melakukan pengolahan limbah.
Industri kecil rumah
tangga (IKRT) dapat dibagi/dikelompokkan berdasarkan atas komoditi dan produk
yang dihasilkan, antara lain
- IKRT yang memproduksi bahan konsumsi (pangan, sandang).
- IKRT yang memproduksi alat pertanian dan pertukangan.
- IKRT yang memproduksi barang-barang seni (ukir-ukiran kayu, patung, perhiasan, batik tulis, tenun ikat, dll).
Industri tahu dalam
proses pengolahannya menghasilkan limbah baik limbah padat maupun cair. Limbah
padat dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan, limbah ini
kebanyakan oleh pengrajin dijual dan diolah menjadi tempe gembus, kerupuk ampas
tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung ampas tahu yang akan dijadikan
bahan dasar pembuatan roti kering dan cake. Sedangkan limbah cairnya dihasilkan
dari proses pencucian, perebusan, pengepresan dan pencetakan tahu, oleh karena
itu limbah cair yang dihasilkan sangat tinggi. Limbah cair tahu dengan karakteristik
mengandung bahan organik tinggi dan kadar BOD, COD yang cukup tinggi pula, jika
langsung dibuang ke badan air, jelas sekali akan menurunkan daya dukung
lingkungan. Sehingga industri tahu memerlukan suatu pengolahan limbah yang bertujuan
untuk mengurangi resiko beban pencemaran yang ada.
Teknologi pengolahan
limbah tahu dapat dilakukan dengan proses biologis sistem anaerob, aerob dan
kombinasi anaerob-aerob. Teknologi pengolahan limbah tahu yang ada saat ini
pada umumnya berupa pengolahan limbah dengan sistem anaerob, hal ini disebabkan
karena biaya operasionalnya lebih murah. Dengan proses biologis anaerob,
efisiensi pengolahan hanya sekitar 70%-80%, sehingga airnya masih mengandung
kadar pencemar organik cukup tinggi, serta bau yang masih ditimbulkan sehingga
hal ini menyebabkan masalah tersendiri (Herlambang, 2002).
Untuk mengatasi hal
tersebut, maka diterapkan sistem pengolahan limbah dengan sistem kombinasi
anaerob-aerob, dengan sistem ini diharapkan dapat menurunkan konsentrasi kadar
COD air limbah tahu. Sehingga jika dibuang tidak menyebabkan bau dan tidak
mencemari lingkungan sekitarnya. Mengingat industri tahu merupakan industri
dengan skala kecil, maka membutuhkan intalasi pengolahan limbah yang
alat-alatnya sederhana, biaya operasionalnya murah, memiliki nilai ekonomis dan
ramah lingkungan.
Saat ini cara yang
sedang dikembangkan adalah pemanfaatan biogas dari hasil pengolahan limbah cair
tahu dengan sistem anaerob. Setiap bahan organik bila tertampung dalam bak penampungan
akan mengalami perombakan secara alami (fermentasi). Proses ini dapat lebih
cepat bila bak penampungan dibuat kedap udara atau berupa tabung hampa udara. Selain
menghasilkan cairan yang tidak berbau lagi, biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan
sebagai pengganti bahan bakar untuk kompor masak dan lampu penerangan. Ini
sangat bernilai ekonomis terutama bagi masyarakat yang hidup di wilayah
pedesaan.
Pengolahan limbah
yang sudah ada tersebut, tentunya harus dikelola denganbaik dan dipelihara
secara rutin. Ini juga memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait
terutama pemerintah dan pemilik industri tahu. Hal ini penting agar proses pengolahan
limbah tetap berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang optimal. Dari
berbagai teknologi pengolahan limbah yang sudah ada, maka akan dilakukan kajian
untuk mengetahui teknologi pengolahan limbah tahu yang efektif dan efisien
beserta kelebihan dan kekurangannya dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.
B. Tujuan
1.
Untuk mengetahui Proses Pembuatan Tahu
2.
Untuk mengetahui Limbah Industri Tahu
3.
Untuk mengetahui Pengelolaan Limbah Indusrti
Tahu
C.
Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Pencemaran
Pencemaran
lingkungan kadang-kadaang tampak jelas pada kita seperti timbunan sampah di
pasar-pasar, pendangkalan sungai yang penuh kotoran, ataupun sesaknya napas
karena asap knalpot ataupun cerobong asap pabrik. Tetapi ada juga yang kurang
nampak misalnya terlepasnya gas hidrogen sulfida dari sumber minyak tua. Begitu
pula musik yang memekakkan telinga yang keluar dari peralatan elektronik
modern. Ion fosfat dalam limbah pabrik merupakan pencemar, tetapi merupakan
rabuk yang baik bagi pepohonan.
Jadi yang
dimaksud dengan pencemar ialah bila berpengaruh jelek terhadap lingkungan.
Lingkungan mempunyai penyimpangan akibat pencemar itu. Yang mengotori atau
mengubah susunan lingkungan kita tidak dimasukan pencemar, kecuali kalau
mempunyai pengaruh jelek terhadap lingkungan. Setiap pencemar berasal dari
suatu sumber tertentu. Sumber ini penting, karena merupakan pilihan pertama
untuk melenyapkan pencemar itu. Setelah pencemar ini dibebaskan oleh sumber
kemudian sampai kepada penerima. Penerima inilah yang dipengaruhi oleh
pencemar.
Menurut
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1998
yang dimaksud dengan pencemaran adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup,
zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air, udara/tanah dan atau
berubahnya tatanannya (komposisi) oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam,
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air,
udara/tanah menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya.
Dengan semakin
meningkatnya perkembangan industri, maka semakin meningkat pula tingkat
pencemaran pada perairan yang disebabkan oleh hasil buangan industri tersebut.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
perkembangan industri, perlu dilakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan
dengan menetapkan baku mutu lingkungan, termasuk baku mutu air pada sumber air
dan baku mutu limbah cair. Baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar
yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat di dalam air tetapi air
tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya, sedangkan baku mutu
limbah cair merupakan kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar
untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber air, sehingga
tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.
Air yang
tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk murni, tetapi bukan berarti
semua air sudah terpolusi. Sebagai contoh, meskipun di daerah pegunungan atau
hutan yang terpencil dengan udara yang bersih dan bebas dari polusi, air hujan
selalu mengandung bahan-bahan terlarut seperti CO2 O2 dan
NO2 serta bahan-bahan tersuspensi seperti debu dan
partikel-partikel lainnya. Air yang tidak terpolusi tidak selalu merupakan air
murni, tetapi adalah air yang tidak mengandung bahan-bahan asing tertentu dalam
jumlah melebihi batas yang ditetapkan sehingga air tersebut dapat digunakan
secara normal untuk keperluan tertentu, misalnya air minum (air leding, air
sumur), berenang/rekreasi (kolam renang, air laut di pantai), mandi (air
leding, air sumur), kehidupan hewan air (air sungai,danau), pengairan dan
keperluan industri.
B.
Limbah
Menurut Undang-undang
Republik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), definisi limbah adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah bahan sisa atau buangan
yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala
rumahtangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut
dapat berupa gas dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini
ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).
Semakin meningkat kegiatan manusia,
semakin banyak pula limbah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu peraturan
yang mengikat secara hukum terkait dengan limbah dan pengelolaannya. UU No 32
Tahun 2009 sudah memuat aturan segala sesuatu yang terkait limbah tersebut.
Aturan itu menyangkut apa yang diperbolehkan, dilarang dan sanksi hukumnya. UU
no 32/2009 ini merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya yaitu UU No 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Disamping itu, sudah
ada UU yang lebih khusus lagi yaitu UU no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah.
Jenis-jenis limbah dari zat
pembentuknya adalah:
1. Limbah organik. Limbah ini dapat
terurai secara alami, contoh: sisa organisme (tumbuhan, hewan).
2. Limbah anorganik. Limbah ini sukar terurai
secara alami, contoh: plastik, botol, kaleng, dll.
Jenis-jenis limbah dari bentuk
fisiknya adalah:
1. Limbah padat, yang lebih dikenal
sebagai sampah. Bentuk fisiknya padat.
Definisi menurut UU No. 18 Tahun 2008,
sampah adalah sisa kegiatan seharihari dan/atau proses alam yang berbentuk
padat. Contoh: sisa-sisa organisme, barang dari plastik, kaleng, botol, dll.
2. Limbah cair. Bentuk fisiknya cair.
Contoh: air buangan rumahtangga, buangan industri, dll.
3. Limbah gas dan partikel. Bentuk
fisiknya gas atau partikel halus (debu). Contoh: gas buangan kendaraan (dari
knalpot), buangan pembakaran industri. (Murni. 2011)
C.
Proses
Produksi Tahu
Pada umumnya tahu dibuat
oleh para pengrajin atau industri rumah tangga dengan peralatan dan teknologi
yang sederhana. Urutan proses atau cara pembuatan tahu pada semua industri
kecil tahu pada umumnya hampir sama dan kalaupun ada perbedaan hanya pada
urutan kerja atau jenis zat penggumpal protein yang digunakan. Pemilihan
(penyortiran) bahan baku kedelai merupakan pekerjaan paling awal dalam
pembuatan tahu. Kedelai yang baik adalah kedelai yang baru atau belum tersimpan
lama digudang. Kedelai yang baru dapat menghasilkan tahu yang baik (aroma dan
bentuk). Untuk mendapatkan tahu yang mempunyai kualitas yang baik, diperlukan bahan
baku biji kedelai yang sudah tua, kulit biji tidak keriput, biji kedelai tidak
retakdan bebas dari sisa-sisa tanaman, batu kerikil, tanah, atau biji-bijian
lain. Kedelai yang digunakan biasanya berwarna kuning, putih, atau hijau dan
jarang menggunakan jenis kedelai yang berwarna hitam. Tujuan dari penyortiran
ini adalah agar kualitas tahu tetap terjaga dengan baik.
Proses yang kedua adalah perendaman.
Pada proses ini kedelai direndam dalam bak atau ember yang berisi air selama ±
3-12 jam. Tujuan dari perendama ini adalah untuk membuat kedelai menjadi lunak
dan kulitnya mudah dikelupas. Setelah direndam, kemudian dilakukan pengupasan
kulit kedelai dengan jalan meremas-remas dalam air, kemudian dikuliti. Setelah
direndam dan dikuliti kemudian dicuci. Pencucian sedapat mungkin dilakukan
dengan alir yang mengalir. Tujuan pencucian ini adalah untuk menghilangkan kotoran
yang melekat maupun tercampur dalam kedelai. Setelah kedelai direndam dan
dicuci bersih, selanjutnya dilakukan penggilingan. Proses penggilingan
dilakukan dengan mesin, karena penggunaan mesin akan memperhalus hasil gilingan
kedelai. Pada saat penggilingan diberi air mengalir agar bubur kedelai
terdorong keluar. Hasil dari proses penggilingan berupa bubur kedelai. Bubur
kedelai yang sudah terdorong keluar kemudian ditampung dalam ember. Pada proses
pencucian dan perendaman kedelai ini menggunakan banyak sekali air sehingga limbah
cair yang dihasilkan akan banyak pula. Tetapi sifat limbah ini belum mempunyai kadar
pencemaran yang tinggi.
Proses selanjutnya adalah perebusan
bubur kedelai dengan tujuan untuk menginaktifkan zat antinutrisi kedelai yaitu
tripsin inhibitor dan sekaligus meningkatkan nilai cerna, mempermudah ekstraksi
atau penggilingan dan penggumpalan protein serta menambah keawatan produk.
Bubur kedelai yang telah terbentuk kemudian diberi air, selanjutnya dididihkan
dalam tungku pemasakan. Setelah mendidih sampai ± 5 (lima) menit kemudian
dilakukan penyaringan. Dalam keadaan panas cairan bahan baku tahu (bubur
kedelai yang sudah direbus) kemudian disaring dengan kain blaco atau kain mori
kasar sambil dibilas dengan air hangat, sehingga susu kedelai dapat terekstrak
keluar semua. Proses ini menghasilkan limbah padat yang disebut dengan ampas
tahu. Ampas padat ini mempunyai sifat yang cepat basi dan busuk bila tidak
cepat diolah sehingga perlu ditempatkan secara terpisah atau agak jauh dari
proses pembuatan tahu agar tahu tidak terkontaminasi dengan barang yang kotor.
Filtrat cair hasil penyaringan yang
diperoleh kemudian ditampung dalam bak. Kemudian filtrat yang masih dalam
keadaan hangat secara pelan-pelan diaduk sambil diberi asam (catu). Pemberian
asam ini dihentikan apabila sudah terlihat penggumpalan. Selanjutnya dilakukan
penyaringan kembali. Proses penggumpalan juga menghasilkan limbah cair yang
banyak dan sifat limbahnya sudah mempunyai kadar pencemaran yang tinggi karena
sudah mengandung asam.
Untuk menggumpalkan tahu bisa
digunakan bahan-bahan seperti batu tahu (sioko) atau CaSO4 yaitu batu gips yang
sudah dibakar dan ditumbuk halus menjadi tepung, asam cuka 90%, biang atau
kecutan dan sari jeruk. Biang atau kecutan yaitu sisa cairan setelah tahap
pengendapan protein atau sisa cairan dari pemisahan gumpalan tahu yang telah
dibiarkan selama satu malam. Tetapi biasanya para pengrajin tahu memakai
kecutan dari limbah itu sendiri yang sudah didiamkan selama satu malam.
Disamping memanfaatkan limbah, secara ekonomi juga dapat menghemat karena tidak
perlu membeli. Tahap selanjutnya yaitu pencetakan dan pengepresan. Proses ini dilakukan
dengan cara cairan bening diatas gumpalan tahu dibuang sebagian dan sisanya
untuk air asam. Gumpalan tahu kemudian diambil dan dituangkan ke dalam cetakan
yang sudah tersedia dan dialasi dengan kain dan diisi sampai penuh. Cetakan
yang digunakan biasanya berupa cetakan dari kayu berbentuk segi empat yang
dilubangi kecil-kecil supaya air dapat keluar.
Selanjutnya kain ditutupkan ke seluruh
gumpalan tahu dan dipres. Semakin berat benda yang digunakan untuk mengepres
semakin keras tahu yang dihasilkan. Alat pemberat/pres biasanya mempunyai berat
± 3,5 kg dan lama pengepresan biasanya ± 1 menit, sampai airnya keluar. Setelah
dirasa cukup dingin, kemudian tahu dipotong-potong sesuai dengan keinginan
konsumen dipasar. Tahu yang sudah dipotong-potong tersebut kemudian dipasarkan.
Dalam pembuatan tahu biasanya
pengrajin menambahkan bahan tambahan atau bahan pembantu antara lain yaitu batu
tahu (batu gips yang sudah dibakar dan ditumbuk halus menjadi tepung), asam
cuka 90%, biang/kecutan, yaitu sisa cairan setelah tahap pengendapan protein
atau sisa cairan dari pemisahan gumpalan tahu yang telah dibiarkan selama satu
malam, kunyit yang digunakan untuk memberikan warna kuning pada tahu, garam
yang digunakan untuk memberikan rasa sedikit asin ke dalam tahu.
D. Limbah Industri Tahu
Limbah industri tahu pada umumnya
dibagi menjadi 2 (dua) bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair.
Limbah padat pabrik pengolahan tahu berupa kotoran hasil pembersihan kedelai
(batu, tanah, kulit kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai)
dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu. Limbah padat
yang berupa kotoran berasal dari proses awal (pencucian) bahan baku kedelai dan
umumnya limbah padat yang terjadi tidak begitu banyak (0,3% dari bahan baku
kedelai). Sedangkan limbah padat yang berupa ampas tahu terjadi pada proses
penyaringan bubur kedelai. Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara
25-35% dari produk tahu yang dihasilkan.
Limbah cair pada proses produksi tahu
berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, pencucian peralatan proses
produksi tahu, penyaringan dan pengepresan/pencetakan tahu. jumlah kebutuhan air proses dan jumlah
limbah cair yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45 dan 43,5 liter
untuk tiap kilogram bahan baku kacang kedelai. Pada beberapa industri tahu,
sebagian kecil dari limbah cair tersebut (khususnya air dadih) dimanfaatkan
kembali sebagai bahan penggumpal. Sebagian besar limbah cair yang
dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari
gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih (whey). Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik
kompleks yang tinggi terutama protein dan asam-asam amino dalam bentuk
padatan tersuspensi maupun terlarut. Adanya senyawa-senyawa organik tersebut
menyebabkan limbah cair industri tahu mengandung BOD, COD dan TSS yang tinggi. Limbah
ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga
menghasilkan bau busuk dan mencemari lingkungan.
E.
Karakteristik
Limbah Industri Tahu
Karakteristik buangan
industri tahu meliputi dua hal, yaitu karakteristik fisika dan kimia.
Karakteristik Fisika meliputi padatan total, padatan tersuspensi, suhu, warna,
dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas.
Suhu air limbah tahu berkisar 37-45°C, kekeruhan 535-585 FTU, warna 2.225-2.250
Pt.Co, amonia 23,3-23,5 mg/1, BOD5 6.000-8.000 mg/1 dan COD 7.500-14.000 mg/1.
Suhu buangan industri tahu berasal
dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair tahu pada umumnya lebih tinggi
dari air bakunya, yaitu 400C-460C. Suhu yang meningkat di lingkungan perairan
akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan
air, viskositas, dan tegangan permukaan. Bahan-bahan organik yang terkandung di
dalam buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik
di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan
minyak. Diantara senyawa-senyawa tersebut, protein dan lemak adalah yang
jumlahnya paling besar. Protein mencapai 40-60%, karbohidrat 25-50% dan lemak
10%. Air buangan industri tahu kualitasnya bergantung dari proses yang digunakan.
Apabila air prosesnya baik, maka kandungan bahan organik pada air buangannya
biasanya rendah. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (Ntotal)
sebesar 226,06-434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan
akan meningkatkan total nitrogen di perairan tersebut .
Gas-gas yang biasa ditemukan dalam
limbah tahu adalah gas nitrogen (N2). Oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S),
amonia (NH3), karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal
dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan
(Herlambang, 2002).
Limbah padat industri tahu berupa
kulit kedelai dan ampas tahu. Ampas tahu masih mengandung kadar protein cukup
tinggi sehingga masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan ikan.
Akan tetapi kandungan air ampas tahu yang masih tinggi merupakan penghambat
digunakannya ampas tahu sebagai makanan ternak. Salah satu sifat dari ampas
tahu ini adalah mempunyai sifat yang cepat tengik (basi dan tidak tahan lama)
dan menimbulkan bau busuk kalau tidak cepat dikelola. Pengeringan merupakan
salah satu jalan untuk mengatasinya. Pengeringan juga mengakibatkan berkurangnya
asam lemak bebas dan ketengikan ampas tahu serta dapat memperpanjang umur
simpan.
F.
Dampak
Limbah Industri Tahu
Herlambang
(2002) menuliskan dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran bahan organik limbah
industri tahu adalah gangguan terhadap kehidupan biotik. Turunnya kualitas air
perairan akibat meningkatnya kandungan bahan organik. Aktivitas organisme dapat
memecah molekul organik yang kompleks menjadi molekul organik yang sederhana.
Bahan anorganik seperti ion fosfat dan nitrat dapat dipakai sebagai makanan
oleh tumbuhan yang melakukan fotosintesis. Selama proses metabolisme oksigen
banyak dikonsumsi, sehingga apabila bahan organik dalam air sedikit, oksigen
yang hilang dari air akan segera diganti oleh oksigen hasil proses fotosintesis
dan oleh reaerasi dari udara. Sebaliknya jika konsentrasi beban organik terlalu
tinggi, maka akan tercipta kondisi anaerobik yang menghasilkan produk
dekomposisi berupa amonia, karbondioksida, asam asetat, hirogen sulfida, dan
metana. Senyawa-senyawa tersebut sangat toksik bagi sebagian besar hewan air,
dan akan menimbulkan gangguan terhadap keindahan (gangguan estetika) yang
berupa rasa tidak nyaman dan menimbulkan bau. (Kaswinarni, 2007)
Limbah cair yang dihasilkan mengandung
padatan tersuspensi maupun terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia,
dan hayati yang akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena
menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit
atau kuman lainnya yang merugikan baik pada produk tahu sendiri ataupun tubuh
manusia. Bila dibiarkan, air limbah akan berubah warnanya menjadi cokelat
kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini mengakibatkan sakit pernapasan.
Apabila air limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka air
sumur itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai
maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan gangguan
kesehatan yang berupa penyakit gatal, diare, kolera, radang usus dan penyakit
lainnya, khususnya yang berkaitan dengan air yang kotor dan sanitasi lingkungan
yang tidak baik.
G.
Pengolahan
Limbah Padat Industri Tahu
Limbah padat industri tahu
meliputi ampas tahu yang diperoleh dari hasil pemisahan bubur kedelai. Ampas
tahu masih mengandung protein yang cukup tinggi (Tabel 2) sehingga masih dapat
dimanfaatkan kembali. (KLH, 2006). Ampas tahu masih mengandung protein 27 gr,
karbohidrat 41,3 gr, maka dimungkinkan untuk dimanfaatkan kembali menjadi
kecap, taoco, tepung yang dapat digunakan dalam pembuatan berbagai makanan (kue
kering, cake, lauk pauk, kerupuk, dll). Pada pembuatan kue dan aneka makanan,
pemakaian tepung tahu tersebut dapat disubstitusikan ke dalam gandum. Pemakaian
tepung ampas tahu sebagai bahan substitusi gandum mempunyai manfaat antara lain
dihasilkannya suatu produk yang masih mempunyai nilai gizi dan nilai ekonomi
serta lingkungan menjadi bersih (KLH,2006).
Karena sifat penggunaan tepung limbah
tahu ini sifatnya sebagai bahan pengganti, maka pada proses pembuatan makanan
maupun pakan ternak, selalu diawali dengan pembuatan tepung limbah padat tahu
terlebih dahulu. Proses pembuatan tepung serat ampas tahu yaitu sejumlah limbah
padat tahu (ampas tahu), diperas airnya selanjutnya dikukus ± 15 menit. Ampas
yang sudah dikukus, diletakkan diatas nyiru atau papan, selanjutnya dijemur
diterik matahari ataupun dikeringkan dengan oven. Apabila dilakukan pengeringan
dengan oven, dipakai temperatur 100oC selama 24 jam. Setelah kering dihaluskan
dengan cara digiling atau diblender dan diayak. Simpan tepung tahu ditempat
yang kering. Bentuk tepung seperti ini tahan lama, dan siap menjadi bahan baku
pengganti tepung terigu atau tepung beras untuk berbagai makanan. Penambahan
bahan lain disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan produk apa yang akan
dibuat.
Ampas tahu kebanyakan oleh masyarakat
digunakan sebagai bahan pembuat tempe gembus. Hal ini dilakukan karena proses
pembuatan tempe gembus yang mudah (tidak perlu keterampilan khusus) dan
biayanya cukup murah. Selain tempe gembus, ampas tahu juga diolah untuk
dijadikan pakan ternak. Proses pembuatannya yaitu campuran ampas tahu dan kulit
kedelai yang sudah tidak digunakan dicampur dengan air, bekatul, tepung ikan
dan hijauan, lalu diaduk hingga tercampur rata, kemudian siap diberikan ke
hewan ternak. Beberapa produk makanan dan aneka kue yang dibuat dengan
penambahan tepung serat ampas tahu adalah lidah kucing, chocolate cookie, cake
(roti bolu), dan kerupuk ampas tahu (KLH, 2006).
H. Pengolahan
Limbah Cair Industri Tahu
Berbagai upaya untuk mengolah limbah cair industri tahu telah dicoba
dandikembangkan. Secara umum, metode pengolahan yang dikembangkan tersebut
dapat digolongkan atas 3 jenis metode pengolahan, yaitu secara fisika, kimia
maupun biologis.
1.
Cara fisika
Merupakan
metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran khususnya padatan tersuspensi
atau koloid dari limbah cair. Dalam pengolahan limbah cair industri tahu secara
fisika, proses yang dapat digunakan antara lain adalah filtrasi dan pengendapan
(sedimentasi). Filtrasi (penyaringan) menggunakan media penyaring terutama
untuk menjernihkan dan memisahkan partikel-partikel kasar dan padatan
tersuspensi dari limbah cair. Padatan tersuspensi yang lolos dari penyaringan
selanjutnya disisihkan dalam unit sedimentasi dengan menambahkan koagulan
sehinggga terbentuk flok. Proses ini termasuk proses kimia. Dalam sedimentasi,
flokflok padatan dipisahkan dari aliran dengan memanfaatkan gaya gravitasi.
2.
Cara kimia
Merupakan
metode penghilangan atau konversi senyawa-senyawa polutan dalam limbah cair
dengan penambahan bahan-bahan kimia atau reaksi kimia lainnya. Beberapa proses
yang dapat diterapkan dalam pengolahan limbah cair industri tahu diantaranya
termasuk koagulasi-flokulasi dan netralisasi. Dalam proses koagulasi-flokulasi,
partikel-partikel koloid hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan
negatif dalam limbah cair melalui sifat adsorpsi koloid tersebut, sehingga
partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid bermuatan negatif ini
melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ionion bermuatan berlawanan dan
membentuk lapisan kokoh (lapisan stern) mengelilingi partikel inti.
Selanjutnya lapisan kokoh (stern) yang bermuatan positif menarik ion-ion
negatif lainnya dari dalam larutan membentuk lapisan kedua (lapisan difus).
Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti partikel-partikel koloid dan
membuatnya menjadi stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil
menurut Davis dan Cornwell (1991) cenderung tidak mau bergabung satu sama
lainnya membentuk flok-flok berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat
dihilangkan dengan proses sedimentasi ataupun filtrasi.
Koagulasi
pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan dengan
cara penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (koagulan) ke dalam koloid, dengan
demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat beraglomerasi satu sama lain
membentuk mikroflok. Selanjutnya mikroflokmikroflok yang telah terbentuk dengan
dibantu pengadukan lambat mengalami penggabungan menghasilkan makroflok
(flokulasi), sehingga dapat dipisahkan dari dalam larutan dengan cara
pengendapan atau filtrasi.
Koagulan
yang biasa digunakan antara lain polielektrolit, aluminium, kapur, dan
garam-garam besi. Masalah dalam pengolahan limbah secara kimiawi adalah
banyaknya endapan lumpur yang dihasilkan , sehingga membutuhkan penanganan
lebih lanjut. (Rahman. 2010)
3.
Cara biologi
Dapat
menurunkan kadar zat organik terlarut dengan memanfaatkan mikroorganisme atau
tumbuhan air. Pada dasarnya cara biologi adalah pemutusan molekul kompleks
menjadi molekul sederhana oleh mikroorganisme. Proses ini sangat peka terhadap
faktor suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan zat-zat inhibitor terutama zat-zat
beracun. Mikroorganisme yang digunakan untuk pengolahan limbah adalah bakteri,
algae, atau protozoa Sedangkan tumbuhan air yang mungkin dapat digunakan
termasuk gulma air (aquatic weeds).
Metode
biologis lainnya dapat dilakukan dengan Anaerobik, Anaerobik-Biogas, Aerobik,
Kombinasi Anaerobik dan Aerobik.
a. Pengolahan Limbah Cair Anaerobik
Proses anaerobik pada hakikatnya
adalah proses yang terjadi karena aktivitas mikroba yang dilakukan pada saat
tidak terdapat oksigen bebas. Proses anaerobik dapat digunakan untuk mengolah
berbagai jenis limbah yang bersifat biodegradable, termasuk limbah industri
makanan salah satunya adalah limbah tahu.
Proses biologi anaerobik merupakan
sistem pengolahan air limbah tahu yang banyak digunakan. Pertimbangan yang
dilakukan adalah mudah, murah dan hasilnya bagus. Proses biologi anaerobik
merupakan salah satu sistem pengolahan air limbah dengan memanfaatkan
mikroorganisme yang bekerja pada kondisi anaerob. Kumpulan mikroorganisme,
umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa komplek organik menjadi
metana. Selebihnya terdapat interaksi sinergis antara bermacammacam kelompok
bakteri yang berperan dalam penguraian limbah.
Kelompok bakteri non metanogen yang
bertanggung jawab untuk proses hidrolisis dan fermentasi tardiri dari bakteri
anaerob fakultatif dan obligat. Mikroorganisme yang diisolasi dari digester
anaerobik adalah Clostridium spp., Peptococcus anaerobus, Bifidobacterium
spp., Desulphovibrio spp., Corynebacterium spp., Lactobacillus,
Actonomyces, Staphylococcus, and Eschericia coli (Metcalf
and Eddy, 2003).
Ada tiga tahapan dasar yang termasuk
dalam keseluruhan proses pengolahan limbah secara oksidasi anaerobik, yaitu :
hidrolisis, fermentasi (yang juga dikenal dengan sebutan asidogenesis), dan
metanogenesis (Metcalf and Eddy, 2003). Selama proses hidrolsis, bakteri
fermentasi merubah materi organik kompleks yang tidak larut, seperti selulosa
menjadi molekul-molekul yang dapat larut, seperti asam lemak, asam amino dan
gula. Materi polimer komplek dihidrolisa menjadi monomer-monomer, contoh :
selulosa menjadi gula atau alkohol. Molekul-molekul monomer ini dapat langsung
dimanfaatkan oleh kelompok bakteri selanjutnya. Hidrolisis molekul kompleks
dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti selulase, protease, dan lipase.
Walaupun demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi
terbatas dalam penguraian limbah selulolitik yang mengandung lignin.
Pada proses fermentasi (asidogenesis),
bakteri asidogenik (pembentuk asam) merubah gula, asam amino, dan asam lemak
menjadi asam-asam organik (asam asetat, propionate, butirat, laktat, format)
alkohol dan keton (etanol, methanol, gliserol dan aseton), asetat, CO2 dan H2.
Produk utama dari proses fermentasi ini adalah asetat. Hasil dari fermentasi
ini bervariasi tergantung jenis bakteri dan kondisi kultur seperti pH dan suhu.
Proses metanogenesis dilaksanakan oleh
suatu kelompok mikroorganisme yang dikenal sebagai bakteri metanogen. Ada dua
kelompok bakteri metanogen yang dilibatkan dalam proses produksi metan.
Kelompok pertama, aceticlastic methanogens, membagi asetat ke dalam
metan dan karbondioksida. Kelompok kedua, hidrogen memanfaatkan metanogen,
yaitu menggunakan hidrogen sebagai donor elektron dan CO2 sebagai aseptor
elektron untuk memproduksi metan. Bakteri di dalam proses anaerobik, yaitu
bakteri acetogens, juga mampu menggunakan CO2 untuk mengoksidasi dan
bentuk asam asetat. Dimana asam asetat dikonversi menjadi metan. Sekitar 72% metan
yang diproduksi dalam digester anaerobik adalah formasi dari asetat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
anaerobik (Monnet, 2003) yaitu :
·
Suhu.
Proses anaerobik dapat terjadi dibawah
dua kisaran kondisi suhu, yaitu kondisi mesopilik, yaitu antara 20-45oC, pada
umumnya 35oC dan kondisi thermopilik, yaitu antara 50-65oC, pada umumnya 55oC. Suhu
yang optimal dari proses anaerobik bervariasi tergantung pada komposisi
nutrient di dalam digester, tetapi kebanyakan proses anaerobik seharusnya
dipelihara secara konstan untuk mendukung tingkat produksi gas. Digester
termopilik lebih efisien dalam hal waktu tinggal, tingkat kapasitas, dan jumlah
produksi gas, tetapi di lain hal membutuhkan input panas yang lebih tinggi dan
mempunyai sensitivitas yang tinggi yang membuat proses lebih problematik
daripada digesti mesopilik.
·
Waktu
Tinggal.
Waktu
tinggal adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai proses degradasi
materi-materi organik yang sempurna. Waktu tinggal bervariasi dengan
memproses parameter-parameter, seperti memproses suhu dan komposisi limbah.
Waktu tinggal untuk limbah yang diperlakukan dalam digester mesopilic dalam kisaran
15-30 hari dan 12-14 hari untuk digester termopilik.
·
pH.
Nilai pH yang optimal untuk proses
asidogenesis dan metanogenesis berbedabeda. Selama proses asidogenesis dibentuk
asetat, laktat, dan asam propionat, dengan demikian pH turun. pH yang rendah
dapat menghambat proses asidogenesis dan nilai pH dibawah 6,4 dapat bersifat
racun untuk bakteri pembentuk metan (pH optimal untuk proses metanogenesis
adalah antara 6,6-7). Kisaran pH optimal untuk semua yaitu antara 6,4-7,2.
·
Rasio
Karbon dan Nitrogen (C:N).
Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen
yang hadir dalam materi organik di gambarkan oleh rasio C : N. Rasio optimal C
: N dalam proses anaerobik antara 20 : 30. Rasio C : N yang tinggi
mengidikasikan adanya konsumsi nitrogen yang cepat oleh bakteri metanogen dan
menghasilkan produksi gas yang rendah. Selain itu rasio C : N yang rendah
menyebabkan akumulasi ammonia dan nilai pH yang melebihi 8,5 dan ini bersifat
racun bagi bakteri matanogen.
·
Mixing.
Mixing di dalam digester, meningkatkan
kontak antara mikroorganisme dengan substrat dan meningkatkan kemampuan
populasi bakteri untuk memperoleh nutrisi. Mixing juga membangun gradien suhu
di dalam digester. Mixing yang berlebihan dapat merusak mikroorganisme dan oleh
karena itu mixing yang lambat lebih
disukai.
b.
Anaerobik
– Biogas
Secara umum proses anaerobik akan
menghasilkan gas Methana (Biogas). Biogas (gas bio) adalah gas yang
dihasilkan dari pembusukan bahan-bahan organik oleh bakteri pada kondisi
anaerob (tanpa ada oksigen bebas). Biogas tersebut merupakan campuran dari
berbagai macam gas antara lain : CH4 (54%-70%), CO2 (27%-45%), O2 (1%-4%), N2
(0,5%-3%), CO (1%), dan H2 <<<<< (KLH, 2006). Sifat penting dari
gas metan ini adalah tidak berbau, tidak berwarna, beracun dan mudah terbakar.
Karena sifat gas tersebut, maka gas metan ini termasuk membahayakan bagi
keselamatan manusia (Sugiharto, 2005).
Penggunaan biogas ini merupakan salah
satu cara untuk mengurangi pencemaran lingkungan, karena dengan fermentasi
bakteri anaerob (bakteri metan) maka tingkat pengurangan pencemaran lingkungan
dengan parameter BOD, COD akan berkurang sampai 90%. Sistem ini banyak dipakai
dengan pertimbangan ada manfaat yang bisa diambil yaitu pemanfaatan biogas yang
sangat memungkinkan digunakan sebagai bahan sumber energi karena gas metan sama
dengan gas elpiji (liquid petroleum gas/LPG), perbedaannya adalah gas metan
mempunyai satu atom C, sedangkan elpiji lebih banyak. Contoh pemanfaatan biogas
misalnya untuk memasak, lampu penerangan, listrik generator, dan dapat
menggantikan bahan bakar yang lain, dsb (KLH, 2006).
Ada dua tipe alat pembangkit biogas atau
digester (LIPI, 2006), yaitu:
·
Tipe
Terapung (Floating Type)
Tipe terapung ini banyak dikembangkan
di India yang terdiri atas sumur pencerna dan diatasnya ditaruh drum terapung
dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh
digester. Sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan
untuk membuat fondasi rumah, seperti pasir, batu bata, dan semen. Karena banyak
dikembangkan di India, maka digester ini disebut juga dengan tipe India.
·
Tipe
Kubah (Fixed Dome Digester)
Tipe ini merupakan tipe yang paling
banyak dipakai di Indonesia. Tipe kubah adalah berupa digester yang dibangun
dengan menggali tanah kemudian dibuat dengan bata, pasir, dan semen yang
berbentuk seperti rongga yang kedap udara dan berstruktur seperti kubah
(bulatan setengah bola). Tipe ini dikembangkan di Cina sehingga disebut juga
tipe kubah atau tipe Cina.
Dengan sistem anaerobik-biogas, gas
yang dihasilkan tergantung pada kandungan protein, lemak dan karbohidrat yang
terkandung dalam limbah, lamanya waktu pembusukan minimal 30 hari karena
semakin lama pembusukan semakin sempurna prosesnya, suhu di dalam digester
yaitu 15oC-35oC, kapasitas kedelai minimal untuk dapat menghasilkan biogas
adalah ± 400 kg, untuk produksi tahu dengan kapasitas kedelai 700 kg/hari
dihasilkan tidak kurang dari 10.500 liter gas bio per hari, kebutuhan satu
rumah tangga dengan 4-5 orang anggota ± 1.200 – 2.000 liter gas bio per hari
(KLH, 2006).
Adapun sistem pengolahan biogas
meliputi inlet (masuknya air limbah), bak equalisasi, bak pengendapan, bak Anaerobik
Filter, bak peluapan, bak pengurasan, dan outlet (keluarnya air limbah yang
telah diolah) (KLH, 2006).
Keuntungan atau keunggulan dari sistem
anaerobik-biogas adalah mengurangi potensi kerusakan hutan yaitu mengurangi
penebangan pohon yang digunakan untuk kayu bakar, mencegah erosi tanah, dan
menghemat pemakaian bahan bakar minyak.
Biogas merupakan energi yang ramah
lingkungan dan merupakan cara yang aman untuk menempatkan bahan organik jika
dikelola dengan baik, sehingga meningkatkan sanitasi dan kesehatan lokal. Sisa
padatan dari produksi biogas (lumpur hasil pembangkitan biogas) dapat digunakan
untuk pembuatan pupuk kompos. Ini dapat mengurangi polusi air tanah dan
meningkatkan kualitas udara. Gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse
gas), bersama dengan gas karbon dioksida CO2 memberikan efek rumah kaca
yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan gas metan
secara lokal ini dapat berperan positif dalam upaya penyelesaian permasalahan
global (efek rumah kaca), sehingga upaya ini dapat diusulkan sebagai bagian
dari program internasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism/CDM) (Inforce, 2006).
Untuk biogas ini sistem yang
diterapkan harus dirawat dan dibersihkan secara periodik untuk menghilangkan
lumpur (residu padatan) hasil pembangkitan biogas dan tindakan pencegahan serta
keselamatan untuk sistem pendistribusian gas harus terus diamati.
c.
Pengolahan
Limbah Cair Sistem Aerobik
Pada pengolahan air limbah tahu proses
biologi aerobik merupakan proses lanjutan untuk mendegradasi kandungan senyawa
organik air limbah yang masih tersisa setelah proses anaerobik. Sistem
penanganan aerobik digunakan sebagai pencegah timbulnya masalah bau selama
penaganan limbah, agar memenuhi persyaratan effluent dan untuk stabilisasi
limbah sebelum dialirkan ke badan penerima (Jenie dan Rahayu, 1993).
Proses pengolahan limbah aerobik
berarti proses dimana terdapat oksigen terlarut. Oksidasi bahan-bahan organik
menggunakan molekul oksigen sebagai aseptor elektron akhir adalah proses utama
yang menghasilkan energi kimia untuk mikroorganisme dalam proses ini. Mikroba
yang menggunakan oksigen sebagai aseptor elektron akhir adalah mikroorganisme
aerobik (Jenie dan Rahayu, 1993). Pengolahan limbah dengan sistem aerobik yang
banyak dipakai antara lain dengan sistem lumpur aktif, piring biologi berputar
(Rotating Biological Contractor = RBC) dan selokan oksidasi (Oxidation Ditch).
d.
Pengolahan
Limbah Sistem Kombinasi Anaerobik-Aerobik
Secara umum proses pengolahan
kombinasi ini dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian
anaerobik dan yang kedua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter
anaerobik-aerobik.
·
Penguraian
anaerobik.
Limbah yang dihasilkan dari proses
pembuatan tahu dikumpulkan melalui saluran limbah, kemudian dialirkan ke bak
kontrol untuk memisahkan buangan padat. Selanjutnya limbah dialirkan ke bak
pengurai anaerobik. Di dalam bak pengurai anaerobik tersebut pencemar organik
yang ada dalam limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerobik,
menghasilkan gas hidrogen sulfida dan metana yang dapat digunakan sebagai bahan
bakar. Pada proses tahap pertama efisiensi penurunan nilai COD dalam limbah
dapat mencapai 80-90%. Air olahan tahap awal ini selanjutnya diolah dengan
proses pengolahan lanjut dengan sistem kombinsi anaerobik-aerobik dengan
menggunakan biofilter (Herlambang, 2002).
·
Proses
pengolahan lanjut.
Proses pengolahan limbah dengan proses
biofilter anaerobik-aerobik terdiri dari beberapa bagian yakni bak pengendap
awal, biofilter anaerobik, biofilter aerobik, bak pengendap akhir, dan jika
perlu dilengkapi dengan bak klorinasi. Limbah yang berasal dari proses
penguraian anaerobik (pengolahan tahap pertama) dialirkan ke bak pengendap
awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran lainnva. Selain
sebagai bak pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengontrol aliran, serta
bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, pengurai lumpur dan
penampung lumpur (Herlambang, 2002).
Air limpasan dari bak pengendap awal
selanjutnya dialirkan ke bak anaerobik dengan arah aliran dari atas ke bawah
(down flow) dan dari bawah ke atas (up flow). Di dalam bak anaerobik tersebut
diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil dan batu pecah. Jumlah bak
anaerobik ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air
baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam limbah
dilakukan oleh bakteri anaerobik. Setelah beberapa hari, pada permukaan media
filter akan tumbuh lapisan film mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan
menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap awal. Air
limpasan dari bak anaerobik dialirkan ke bak aerobik. Di dalam bak aerobik ini
dapat diisi dengan media dari bahan kerikil atau plastik atau batu apung atau
bahan serat sesuai dengan kebutuhan atau dana yang tersedia, sambil diaerasi
atau dihembus dengan udara, sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan
zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan
media. Dengan demikian limbah akan kontak dengan mikroorganisme yang,
tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media (Herlambang,
2002).
Dari proses tersebut efisiensi
penguraian zat organik dan deterjen dapat ditingkatkan serta mempercepat proses
nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan amonia menjadi lebih besar. Proses
ini sering dinamakan aerasi kontak (contact aeration). Dari bak aerasi, limbah
dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini kembali ke bagian awal bak
aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan dialirkan ke bak
klorinasi (Herlambang, 2002).
Di dalam bak klorinasi ini limbah direaksikan
dengan klor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang
keluar setelah proses klorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran
umum. Dengan kombinasi proses anaerobik-aerobik tersebut selain dapat
menurunkan zat organik (BOD, COD) juga menurunkan amonia, deterjen, muatan
padat tersuspensi (MPT) fosfat dan lainnva. Dengan adanya proses pengolahan
lanjut tersebut, nilai COD dalam air olahan yang nilai COD dalam air olahan
yang dihasilkan akan relatif rendah (Herlambang, 2002).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Proses pembuatan tahu dimulai dari pencucian, pengupasan kulit, perendaman, penggilingan, perebusan, penyaringan, pengumpulan, percetakan, dan pemotongan.
- limbah yang di hasilkan dalam industri tahu yaitu limbah padat dan limbah padat
- pengolahan limbah tahu : cara fisika, cara kimia, dan cara biologi.
Daftar Pustaka
Kaswinarti Fibria. 2007. Studi Kasus Industri Tahu
Tandang Semarang, Sederhana Kendal dan Gagak Sipat Boyolali,
(http://eprints.undip.ac.id/17407/1/Fibria_Kaswinarni.pdf diakses pada tanggal 29 Januari 2013)
Murni Sri. 2011. Pengelolaan Limbah
(http://www.iwf.or.id/assets/document/44128.pdf. diakses pada
tanggal 29 Januari 2013)
Neni. 2012.
Pencemaran dan Penanganan Limbah Industri Pangan (Industri Tahu) (http://neniuswatun.blogspot.com/2012/04/pencemaran-dan-penanganan-limbah.html Diakses pada tanggal
28 Januari 2013)
Rahman. 2010.
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Tahu (http://rahmankumbohu.blogspot.com/2010/10/instalasi-pengolahan-air-limbah-ipal.html. Diakses pada
tanggal 28 Januari 2013)